Pengikut

Sabtu, 17 Agustus 2013

Sejarah Singkat Bendera Merah Putih

Warna merah-putih bendera negara diambil dari warna panji atau pataka Kerajaan Majapahit yang berpusat di Jawa Timur pada abad ke-13. Akan tetapi ada pendapat bahwa pemuliaan terhadap warna merah dan putih dapat ditelusuri akar asal-mulanya dari mitologi bangsa Austronesia mengenai Bunda Bumi dan Bapak Langit; keduanya dilambangkan dengan warna merah (tanah) dan putih (langit). Karena hal inilah maka warna merah dan putih kerap muncul dalam lambang-lambang Austronesia — dari Tahiti, Indonesia, sampai Madagaskar. Merah dan putih kemudian digunakan untuk melambangkan dualisme alam yang saling berpasangan. Catatan paling awal yang menyebut penggunaan bendera merah putih dapat ditemukan dalam Pararaton; menurut sumber ini disebutkan balatentara Jayakatwang dari Gelang-gelang mengibarkan panji berwarna merah dan putih saat menyerang Singhasari. Hal ini berarti sebelum masa Majapahit pun warna merah dan putih telah digunakan sebagai panji kerajaan, mungkin sejak masa Kerajaan Kediri. Pembuatan panji merah putih pun sudah dimungkinkan dalam teknik pewarnaan tekstil di Indonesia purba. Warna putih adalah warna alami kapuk atau kapas katun yang ditenun menjadi selembar kain, sementara zat pewarna merah alami diperoleh dari daun pohon jati, bunga belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi), atau dari kulit buah manggis. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih. Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII. Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran. Di zaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.Panji kerajaan Badung yang berpusat di Puri Pamecutan juga mengandung warna merah dan putih, panji mereka berwarna merah, putih, dan hitam[6] yang mungkin juga berasal dari warna Majapahit. Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda. Kemudian, warna-warna yang dihidupkan kembali oleh para mahasiswa dan kemudian nasionalis di awal abad 20 sebagai ekspresi nasionalisme terhadap Belanda. Bendera merah putih digunakan untuk pertama kalinya di Jawa pada tahun 1928. Di bawah pemerintahan kolonialisme, bendera itu dilarang digunakan. Bendera ini resmi dijadikan sebagai bendera nasional Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, ketika kemerdekaan diumumkan dan resmi digunakan sejak saat itu pula. Adalah Muhammad Yamin yang menelusuri sejarah merah-putih hingga zaman Majapahit, bahkan hingga zaman purba. Dia menguraikannya dalam 6000 Tahun Sang Merah-Putih yang diterbitkan sebagai peringatan 30 tahun Sumpah Pemuda pada 1958. Dia mendasarkan penafsirannya dari warna yang ditemukan pada masyarakat Indonesia di masa purba hingga kebiasaan tradisional bubur merah dan putih untuk menjelaskan eksistensi dan kesakralan bendera nasional. Karya Yamin, juga generasi awal sejarawan Indonesia pascakolonial, menunjukkan bahwa, “Sejak awal perkembangannya, historiografi Indonesia sentris ternyata cenderung menjauh dari sejarah objektif karena berkembangnya prinsip dekolonisasi historiografis yang bersifat ultranasionalis dan lebih mementingkan retorika,” tulis Budi Susanto SJ dalam Membaca Postkolonialitas (di) Indonesia. Terlepas dari kritik atas karya Yamin, sejarah mencatat bagaimana merah-putih dikibarkan para pemuda pergerakan. Di negeri penjajah Belanda, tulis R.E. Elson dalam The Idea of Indonesia, rasa identitas kebangsaan Indonesia itu mulai terwujud dalam lambang pada 1920. Dalam Kongres Perkumpulan Mahasiswa Indonesia (Indonesisch Verbond van Studeerenden/IVS) di Lunteren, Belanda, Agustus 1920, “terlihat ada bendera merah-putih bersebelahan dengan bendera Belanda biru-merah-putih menghiasi mobil ketua kongres, sementara bunga-bunga dahlia merah dan putih dalam vas menyemarakkan aula kongres.” Bendera merah-putih juga berkibar dalam Kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Kramat 106 Jakarta, yang melahirkan Sumpah Pemuda. Bahkan kemudian sebuah laporan intelijen dari Kepala Seksi Badan Informasi Politik Belanda dari Surabaya, 19 Juli 1933, menyebutkan bendera Belanda hilang dari kampung-kampung. “Sebelumnya bendera Belanda dikibarkan di acara-acara perayaan, sekarang bendera itu digantikan warna-warna merah-putih…,” tulis Elson. Dua minggu setelah Jepang masuk ke Indonesia, pemerintah pendudukan langsung melarang penggunaan dan pengibaran bendera merah-putih. Jepang justru mewajibkan kepada rakyat Indonesia untuk menghormati bendera Jepang, Hinomaru, setiap pagi sambil menghadap matahari terbit, untuk memuliakan Kaisar Jepang Tenno Heika. Perintah ini menimbulkan perlawanan dari KH Zainal Mustafa dan para santrinya di pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, pada Februari 1944. “Perintah Jepang untuk melakukan kyujo yohai (penghormatan kepada istana kaisar Jepang) dianggap sebagai gangguan terhadap agama mereka,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol. Barulah saat berada diujung tanduk dalam Perang Pasifik, Jepang memberikan janji kemerdekaan bagi Indonesia serta memperbolehkan bendera merah-putih dan lagu Indonesia Raya. Bertepatan dengan hari Pembangunan Asia Timur Raya, 8-9 September 1944, Soomubucho (Kepala Staf Bagian Umum) mengumumkan: “… pada hari ini balatentara telah memperkenankan untuk memakai bendera kebangsaan Indonesia, juga diperkenankan lagu kebangsaan Indonesia Raya sebagai nyanyian Indonesia.” Pengumuman tersebut dimuat Sinar Baroe, 9 September 1944. Perayaan pun digelar di mana-mana, “termasuk upacara penaikan bendera merah-putih pada 9 September 1944 di Gambir yang dihadiri 40 ribu orang untuk merayakan akan merdekanya Indonesia, dan rasa lega karena tercapainya cita-cita sudah di depan mata,” tulis Elson. Puncaknya terjadi pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sejak itu, euforia mewabah. Hingga akhir Agustus 1945, tulis Elson, gambar tempel dan bendera kecil merah-putih muncul di kota dan tak lama kemudian membanjiri kota Surabaya. Sampai-sampai, Komandan Wing T.S. Tull dari Angkatan Udara Inggris, yang diterjunkan ke Jawa Tengah pertengahan September 1945 untuk mengawasi “perlindungan dan pembebasan” tawanan perang dan interniran Sekutu, mengatakan, “Di pihak Indonesia, bukti kekuatan dan pengaruh gerakan nasionalis ada di mana-mana. Tak satu pun rumah dan bangunan umum yang tidak punya bendera Indonesia.” Di Surabaya pula terjadi “insiden bendera” di Hotel Yamato Surabaya –sebelumnya Hotel Orange dan sekarang Hotel Majapahit– pada 19 September 1945. Peristiwa bermula ketika sekelompok orang Belanda mengibarkan bendera merah-putih-biru di atas hotel. Sebelum hari siang, Residen Surabaya Sudirman datang. Dia meminta agar bendera Belanda diturunkan tapi ditampik. Di luar, puluhan pemuda tak sabar lagi. Bentrokan tak dapat dielakkan. Beberapa orang naik, merobek dan membuang kain berwarna biru dari bendera Belanda, lalu mengibarkan sisanya, merah-putih, di tempat semula. Bendera merah-putih sudah melintasi sejarah panjang. Menghormati bendera bukan berarti memuliakan bendera itu sendiri, tapi menghargai sejarah dan simbol kebangsaan dan kemerdekaan yang diperjuangkan dengan darah dan airmata.

Tidak ada komentar: